"Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberi manfa'at kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Rabb itu adalah suatu peringatan, maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya." ('Abasa 1-2)
Menurut
beberapa
orang
Ahli
tafsir,
7
ayat-ayat
tersebut
diturunkan
berkenaan
dengan
Ibnu
Ummi
Maktum.
Abdullah
Ibnu Ummi Maktum radhiallâhu 'anhu
Siapakah
dia
dan
darimana
asal-usulnya?
Apakah
ia
mempunyai
kedudukan
sosial
dalam
kabilah
Arab
atau
tengah-tengah
kaum
Quraisy?
Apakah
ia
tergolong
salah
seorang
penyair
tenar
yan
suaranya
berkumandang
di
Suuq
'Ukazh,
mendeklamasikan
kepahlawanan
dan
keutamaan
suatu
kabilah,
lalu
suaranya
itu
terdengar
ke
sana
kemari,
menjadi
pembicaraan
orang
ramai?
Atau,
barangkali
ia
seorang
ahli
perang
yang
berani
dan
pahlawan
yang
tak
terkalahkan
di
medan
laga,
yang
dijagokan
para
penyair
dalam
syairnya?
Atau,
ia
termasuk
salah
seorang
tokoh
yang
berpikiran
cerdik
dan
jenius,
suara
dan
caranya
diterima
serta
dihargai
para
tokoh
Arab
dan
penguasanya?
Ibnu
Ummi
Maktum
radhiallaahu
'anhu
bukanlah
salah
seorang
dari
mereka,
bahkan
namanya
pun
belum
pernah
dikenal
orang
sebelum
Islam.
Apalagi
orang
akan
mengindahkan
suaranya.
Ia
seorang
awam
di
kota
Mekah,
hidup
untuk
diri
dan
bersama
dirinya.
Suaranya
tidak
pernah
didengar
orang
dan
rupanya
tidak
pernah
dikenal
orang.
Malah,
namanya pun ada yang memperselisihkan. Penduduk kota Madinah
berpendapat bahwa namanya adalah Abdullah Ibnu Ummi Maktum, tetapi
orang Iraq berpendapat bahwa namanya adalah 'Amru bin Ummi Maktum.
Walaupun demikian, mereka semua sepakat bahwa nama ibunya adalah
Atikah binti Abdullah bin Ma'ish. Dia adalah putera dari bibi
Khadijah binti Khuwalid.
Matanya
buta sejak kecil, penduduk kota Mekah mengenalnya sebagai seorang
yang rajin mencari rezeki dan belajar ilmu pengetahuan. Meskipun ia
seorang tunanetra , namun semangatnya bergelora untuk belajar dan
mengetahui segala yang didengarnya. Ia menggunakan pendengarannya
sebagai pengganti matanya, apa yang didengarnya tidak dilupakan lagi
sehingga ia mampu mengutarakan kembali apa yang pernah didengarnya
dengan baik sekali.
Dia
mendengar
orang-orang
mustadh'afin
dan
budak-budak
(hamba
sahaya)
di
kota
Mekah
bersembunyi-sembunyi
pergi
ke
Darul
Arqam
untuk
mendengarkan
berita-berita
dari
langit
yang
dibawakan
Muhammad
al-Amin.
Ia
merasa
bahwa
di
Mekah
terjadi
pergolakan
yang
lain
dari
biasanya.
Perang
urat
saraf
mulai
tampak
di
permukaan
;
wahyu
yang
disampaikan
kepada
Muhammad
al-Amin
itu
menganjurkan
persamaan
dan
persaudaraan
antar
sesama
umat
manusia.
Kaum
Mustadh'afin
dan
para
hamba
sahaya
tertarik
akan
semua
seruan
itu,
sedangkan
tohok-tokoh
Quraisy
berusaha
keras
mempertahankan
system
kehidupan
Jahiliah,
tanpa
mengindahkan
perkembangan
zaman
dan
tuntutan
hati
nurani
masyarakat
umum.
Ibnu
Ummi Maktum memutuskan untuk pergi sendiri ke majelis Ibnul Arqam
untuk mendengarkan dan meyakini berita yang sedang ramai
diperbincangkan orang itu. Ia mengambil tongkatnya dan mengayunkan
langkahnya menuju kesana. Ternyata apa yang didengarnya lebih hebat
dari apa yang diberitakan orang; rasanya suara yang didengarnya
berhasil membuka pintu hatinya dan menimbulkan rasa ketenangan serta
kedamaian dalam kalbunya. Kini, ia tidak takut dan gentar terhadap
seluruh kekuatan bumi, sesudah ia mendengarkan kalamullah yang
diwahyukan kepada Muhammad al-Amin dengan perantaraan Malaikat
Jibril, untuk mengukuhkan tauhid kepada Allah al-Khaliq, untuk
mempersamakan antar umat manusia, untuk menegakkan keadilan antar
berbagai lapisan masyarakat, dan untuk mengumandangkan rasa
persaudaraan serta kedamaian ke seluruh pelosok dunia yang sedang
dilanda kezaliman dan kesesatan.
Ibnu
Ummi
Maktum
mengulurkan
tangannya
kepada
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
menyatakan
ke-Islamannya,
keluar
dari
lingkungan
Jahiliah,
dan
masuk
kedalam
barisan
kaum
beriman,
menyatakan
janji
kepada
Allah
Ta'ala
dan
kepada
Rasul-Nya
untuk
mengorbankan
segala-segala,
termasuk
nyawanya
demi
tegaknya
agama
Islam.
Semangatnya
untuk
mengetahui
agama
itu
lebih
banyak
dan
mendalam,
tidak
tertahankan
lagi;
di
saat
ada
kesempatan
bertanya,
ia
mengajukan
pertanyaan
tentang
berbagai
persoalan
kepada
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
.
Apa
yang
didengarnya
dicerna
dan
diresapi
dengan
sebaik-baiknya.
Kaum
Quraisy
tidak
mampu
menumpas
dakwah
langit
itu.
Akhirnya,
mereka
mengubah
taktik
dengan
memperlambat
gerak
dan
mempersempit
penyebarannya
dengan
mengejar-ngejar
dan
memaksa
para
pengikutnya
yang
tidak
berdaya
dan
tidak
bersenajta.
Akhirnya
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
.
Memberikan
izin
kepada
para
pengikutnya
pergi
berhijrah
dengan
membawaserta
agamanya.
Di
antara
para
Muhajirin
itu
terdapat
Ibnu
Ummi
Maktum.
Para
sejarawan
muslim
berbeda
pendapat
tentang
sejarah
hijrahnya
itu.
Ada
yang
menetapkan
bahwa
ia
hijrah
sesudah
perang
Badar
dan
tinggal
di
Darul
Qurra'.
Ada
pula
yang
mengatakan
bahwa
ia
hijrah
sebelum
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
tiba
di
Madinah,
sebelum
perang
Badar.
Saya
lebih
condong
menerima
riwayat
yang
terakhir
ini,
seperti
yang
diutarakan
Abu
Ishaq
dari
al-Barra'
bin
Azib,
'Pada
waktu
itu,
orang
yang
pertama
hijrah
ke
negeri
kami
ialah
Mush'ab
bin
Umair
dari
bani
Abdid-Dar
bin
Qushai.
Kami
tanyakan
kepadanya
,
'Apa
kabar
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
?'
Ia
menjawab
,
'Beliau
baik-baik
saja
di
Mekah,
sedang
para
sahabat-nya
akan
segera
menyusulku.'
Sesudah
itu
datang
Abdullah
Ibnu
Ummi
Maktum
yang
tunanetra
itu.
Kami
tanyakan
pula
kepadanya,
'Apa
kabar
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
.?'
Ia
menjawab
'Mereka
segera
akan
menyusulku.'"
Ia
mulai
melakukan
tugasnya
yang
sejak
lama
sudah
dipersiapkannya
dengan
mengajukan
banyak
pertanyaan
kepada
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam,
yaitu
mengajarkan
dasar-dasar
agama
Islam,
mengajar
penduduk
kota
Madinah
menghafal
ayat-ayat
al-Qur'anul-Karim,
dan
menyiapkan
hati
serta
jiwa
masyarakat
menyambut
kedatangan
Nabi
Muhammad
Shallallahu
'alaihi
wasallam
.
Tak
lama
setelah
itu,
sampailah
berita
bahwa
Rasulullah
akan
segera
datang
di
Madinah.
Ibnu
Ummi
Maktum
bersama
para
penyambut
lainnya
berderet-deret
di
tepi
jalan
menyambut
kedatangan
kekasih
Allah
yang
sudah
lama
tidak
terdengar
suara
dan
pelajarannya.
Menurut
sebagian
perawi,
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
tinggal
di
rumah
Bani
an-Najjar.
Beliau
lalu
membangun
masjidnya
untuk
dijadikan
sekolah
terbesar
bagi
generasi
yang
pernah
dikenal
umat
manusia,
yang
mengemban
petunjuk
dan
Kitab
Allah.
Ibnu
Ummi
Maktum
senantiasa
menyertai
kegiatan
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
.
Ia
ikut
aktif
dalam
pembangunan
masjidnya,
tidak
pernah
absen
dalam
mengikuti
pelajaran
yang
diberikannya,
selalu
shalat
jama'ah
di
belakang
beliau,
dan
hampir
tidak
ada
ayat
yang
turun
di
Madinah
yang
tidak
diketahuinya.
Malah,
ia
puaskan
telinganya
dalam
mendengarkan
semua
sabda
Rasulullah
dan
pengarahan
langit
yang
dikirimkan
Allah
Ta'ala
kepada
hamba-Nya,
untuk
memancarkan
persamaan,
kedamaian,
dan
keadilan
di
seluruh
jagat
raya
ini.
Menurut
Anas
bin
Malik
radhiallaahu
'anhu,
"Pada
suatu
hari,
Malaikat
Jibril
datang
kepada
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
.
Disana
ada
Ibnu
ummi
Maktum;
ia
lalu
bertanya
,
'Sejak
kapan
kau
tidak
dapat
melihat?'
'Sejak
kanak-kanak.'
'Allah
Ta'ala berfirman, 'Apabila Aku mengambil indra penglihatan hamba-Ku,
tiada imbalan baginya selain surga."
'Selamat
bagimu,
wahai
Ibnu
Ummi
Maktum!
Engkau
telah
berhasil
menjadi
sahabat
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
dan
mendapat
berita
gembira
masuk
surga,
langsung
dari
malaikat
Jibril.'"
Apabila
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
menjumpainya,
beliau
suka
berucap,
"Selamat
datang,
wahai
orang
yang
dititipkan
Tuhanku
untuk
diperlakukan
dengan
baik!"
Apabila
Bilal
radhiallaahu
'anhu
tidak
ada,
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
suka
sekali
menyuruhnya
mengumandangkan
azan
shalat
lima
waktu
karena
suaranya
merdu
dan
lembut,
tetapi
kalau
Bilal
hadir,
ia
yang
adzan
dan
Ibnu
Ummi
Maktum
yang
iqamat.
Pada
bulan
Ramadhan,
Bilal
radhiallaahu
'anhu
azan
untuk
mengingatkan
orang
akan
waktu
makan-minum
sahur,
tetapi
kalau
terdengar
azan
Ibnu
Ummi
Maktum,
makan-minum
harus
dihentikan;
itu
tanda
waktu
imsak
sudah
tiba.
Menurut
Abdullah
bin
Umar
radhiallaahu
'anhu,
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
pernah
bersabda,
"Apabila
bilal
azan
pada
malam
hari,
maka
kalian
boleh
makan
dan
minum
hingga
mendengar
azannya
Ibnu
Ummi
Maktum!"
Ibnu
Ummi
Maktum
termasuk
sahabat
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
yang
sangat
mencintai
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
.
Di
hatinya,
beliau
lebih
dari
sanak
keluarga,
bahkan
dari
diri
pribadinya
sendiri.
Mereka
semua,
termasuk
Ibnu
Ummi
Maktum,
sanggup
menahan
derita
serta
cerca
orang
terhadap
diri
dan
sanak
keluarganya,
bahkan
bisa
memaafkan
hal
itu,
tetapi
tidak
bisa
menerima
dan
memaafkan
hal
itu
bila
ditujukan
kepada
Rasulullah.
Ibnu
Ummi
Maktum
pernah
tinggal
di
rumah
seorang
wanita
Yahudi,
bibi
seorang
Anshar.
Wanita
itu
baik
budi
dan
melayani
makan-minumnya,
tetapi
mulutnya
tidak
pernah
diam
menyerang
orang-orang
yang
paling
dicintai
Ibnu
Ummi
Maktum.
Ia
tidak
sabar
mendengar
ejekan
dan
cercaan
itu.
Ia
berusaha
beberapa
kali
menegurnya,
tetapi
teguran
dan
peringatannya
itu
tidak
diindahkan.
Terpaksalah
ia
memukulnya.
Ternyata
pukulan
itu
mematikan.
Hal
ini
dilaporkan
kepada
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
sesudah
ia
dihadapkan,
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
bertanya,
"Mengapa
kau bertindak demikian?"
"Wahai
Rasulullah! Sungguh, ia seorang yang baik budi terhadap diriku, namun
ia senantiasa mencela dan mencerca Allah dan Rasul-Nya, maka
terpaksalah aku memukulnya untuk menghentikannya, namun kiranya
ajalnya sudah sampai."
"Allah
telah
menjauhkannya
dan
ia
telah
membatalkan
darahnya?????."
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
sering
mengangkatnya
sebagai
wakil
apabila
beliau
keluar
meninggalkan
Madinah
dalam
peperangan,
umpamanya
ketika
pergi
menyerang
Kabilah
Banu
Sulaim
dan
Kabilah
Ghathafan.
Ia
menjadi
Imam
jamaah
dan
Khatib
shalat
Jumat.
Begitu
pula
ketika
Rasulullah
pergi
berperang
ke
Uhud,
Hamra'al-Asad,
Bani
an-Nadhir,
Khandaq,
Bani
Quraizah,
Bani
Lahyan,
al-Ghabah,
Dzi
Qirad,
dan
Umrah
al-Hudaibiyah.
"Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
terlibat
dalam
penyerangan
ofensif
sebanyak
tiga
belas
kali;
beliau
selalu
mengangkat
Ibnu
Ummi
Maktum
sebagai
pejabat
untuk
menggantikannya
di
Madinah,
mengimami
orang
shalat
jamaah,
dan
lain-lain,
padahal
ia
seorang
tunanetra,"
demikian
ucap
asy-Sya'bi.
Ia
mengikuti
kehidupan
sosial
dan
politik
kaum
muslimin,
mengikuti
kegiatan
berbagai
perutusan
yang
pergi
dan
datang
menghadap
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
.
Ia
sering
sekali
berpuasa
dan
shalat
malam.
Hampir
seluruh
masa
hidupnya
diisi
dengan
peribadatan
atau
ikut
berperang
altig??????
dalam
kegiatan
kaum
muslimin.
Kemudian,
turunlah
firman
Allah,
"Tidaklah
sama
antara
mukmin
yang
duduk
(yang
tidak
terut
berperang)
yang
tidak
mempunyai
uzur
dengan
orang-orang
yang
berjihad
di
jalan
Allah
dengan
harta
mereka
dan
jiwanya.
Allah
melebihkan
orang-orang
yang
berjihad
dengan
harta
dan
jiwanya
atas
orang-orang
yang
duduk
satu
derajat…"
(Q.,.
4/an-Nisaa':
95)
Jadi,
di
sana
masih
terdapat
lapangan
peribadahan
yang
ganjarannya
lebih
utama
dari
ganjaran
yang
mungkin
diperolehnya.
Ada
suatu
taqarrub
yang
dilakukan
orang,
yang
lebih
mendekatkan
orang
itu
kepada
Allah
Ta'ala
lebih
dari
dirinya.
Ia
lalu
merintih
menangisi
nasibnya
kepada
Allah
Ta'ala,
"Ya
Allah,
Engkau
mengujiku
dengan
kebutaan.
Apa
yang
dapat
aku
lakukan
selain
mengharap
rahmatMu
yang
meliputi
segala-galanya."
Lalu
turunlah
firman-Nya,..
"yang
tidak
mempunyai
uzur…,"
sebagai
pelengkap.
Menurut
Ibnu
Abbas
radhiallaahu
'anhu,
"Ketika
firman
Allah,
'Tidaklah
sama
antara
mukmin
yang
duduk
(yang
tidak
turut
berperang)
yang
tidak
mempunyai
uzur
dengan
orang-orang
yagn
berjihad
di
jalan
Allah
dengan
harta
dan
jiwa
mereka…,'
diturunkan,
Abdullah
bin
Ummi
Maktum
yang
buta
(tunanetra)
itu
datang
menemui
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
,
lalu
bertanya,
'Wahi
Rasulullah,
Allah
telah
menurunkan
keutamaan
jihad
fi
sabilillah
;
seperti
yang
baginda
ketahui,
aku
ini
seorang
tunanetra,
tidak
bisa
ikut
berjihad,
apakah
kepadaku
diberi
izin
tidak
ikut
berjihad?
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
menjawab,
'Aku
belum
mendapat
keterangan
mengenai
dirimu
dan
orang-orang
yang
senasib
denganmu.'
Ibnu
Ummi
Maktum
lalu
menengadahkan
wajahnya
dan
mengangkat
kedua
tangannya
seraya
berseru,
'Ya
Allah,
aku
memohon
pertimbangan-Mu
mengenai
pengelihatanku
ini.'
Lalu,
turunlah
ayat,
'Tidak
sama
antara
mukmin
yang
duduk
(yang
tidak
ikut
berperang)
yang
tidak
mempunya
uzur
dengan
orang
yang
berjihad
di
jalan
Allah
dengan
harta
dan
jiwa
mereka…'"
Izin
sudah
ia
peroleh
dari
Allah
Ta'ala;
apakah
ia
memanfaatkan
izin
itu?
akan
mengikuti
pasukan
Islam
yang
menuju
ke
al-Qadisiyah.
Ia
ingin
memperoleh
ganjaran
seorang
mujahid.
Ia
memohon
kepada
komandan
perang,
"Hai
kekasih
Allah,
hai
sahabat
Muhammad
Shallallahu
'alaihi
wasallam
,
Hai
pahlawan
perang,
serahkan
bendera
perang
itu
kepadaku.
Aku
seorang
tunanetra,
tak
mungkin
bisa
lari.
Nanti
tempatkanlah
aku
diantara
kedua
pasukan
yang
berperang."
Menurut
Qotadah,
Anas
bin
Malik
radhiallaahu
'anhu
berkata:
"dalam
perang
al-Qadisiyah,
Abdullah
bin
Ummi
Maktum
memegang
bendera
hitam
dan
memakai
baju
besi."
Ia
lalu
kembali
ke
Madinah
dan
meninggal
dunia
di
sana.
Semoga
Allah
Ta'ala
merahmatinya,
aamin.
Sebab
turunnya
Ayat
Menurut
Ibnu
Abbas
radhiallaahu
'anhu
:
"Ketika
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
sedang
menerima
kedatangan
Utbah
bin
Rabi'ah,
Abu
Jahal,
dan
al-Abbas
bin
Abdul
Muththalib,
pada
waktu
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
berusaha
keras
menawarkan
Islam
kepada
mereka
supaya
mereka
beriman,
tiba-tiba
datanglah
seorang
tunanetra
yang
dikenal
dengan
panggilan
Abdullan
bin
Ummi
Maktum.
Ia
minta
kepada
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
supaya
kepadanya
dibacakan
ayat-ayat
Al-Qur'anul
Karim,
"Ya
Rasulullah,
ajarkan
kepadaku
apa
yang
diajarkan
Allah
kepadamu!".
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
lalu
mengerutkan
mukanya
dan
memalingkan
pandangannya,
kesal
kepada
omongannya.
Ia
lalu
meneruskan
pembicaraannya
melayani
tamu-tamunya.
Sesudah
pertemuan
itu
usai,
beliau
terus
pergi
dan
keluarganya
meninggalkan
tempat
itu,
kemudian
turunlah
ayat,
"
'Abasa
warawalla"
.
Sesudah
ayat-ayat
itu
turun,
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
sangat
menghormati
Ibnu
Ummi
Maktum.
Kalau
ia
datang,
selalu
ditanyakan,"
Apa
keperluanmu..?
Apa
perlu
bantuanku?"
Kalau
ia
hendak
pergi,
selalulah
ditanyakan,"
Apakah
kau
memerlukan
sesuatu?"
Seorang
miskin
yang
tunanetra
itu
datang
menemui
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
seperti
biasanya
ingin
belajar
dan
memperdalam
agama
Allah
Ta'ala.
Kali
ini,
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
sedang
sibuk
melayani
beberapa
tokoh
Quraisy,
dengan
harapan
kalau
mereka
masuk
Islam
maka
akan
meringankan
tugasnya
dan
akan
memudahkan
perkembangan
agama
itu
karena
merekalah
yang
selalu
merintangi
perkembangan
Islam
dengan
harta,
kedudukan,
dan
wibawanya.
Mereka
berusaha
keras
menghalang-halangi
orang
dari
agama
Islam
dan
menyempitkan
ruang
gerak
dakwah
dengan
berbagai
cara
sehingga
hampir
tidak
berkembang
di
Mekah.
Orang-orang
di
luar
kota
Mekah
sudah
tentu
sulit
menerima
agama
baru
yang
ditentang
keras
oleh
orang-orang
yang
paling
dekat
dengan
penganjurnya
itu.
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
menyibukkan
diri
dengan
orang-orang
itu
bukan
demi
kepentingan
pribadinya,
tapi
demi
kepentingan
pengembangan
Islam
dan
kepentingan
kaum
muslimin
juga.
Kalau
mereka
masuk
Islam
maka
diharapkan
semua
rintangan
yang
membentang
di
hadapan
para
dai
dan
dakwah
Islam
bisa
disingkirkan.
Ibnu
Ummi
Maktum
mengulang-ngulang
harapannya
itu
sehingga
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
makin
kesal
dan
gusar
karena
ia
telah
mengganggu
pembicaraannya
dengan
para
tamunya
itu.
Rasa
benci
nampak
diwajahnya
dengan
mengerutkan
mukanya
dan
juga
memalingkan
pandangannya.
Disini,
Allah
berfirman
dengan
jelas
dan
tegas,
dan
mencela
sikap
Nabi
Shallallahu
'alaihi
wasallam
seorang
yang
memiliki
akhlak
yang
luhur.
Firman-Nya,
Dia
(Muhammad)
bermuka
masam
dan
berpaling,
karena
telah
datang
seorang
buta
kepadanya.
Tahukah
kamu
barangkali
ia
ingin
membersihkan
dirinya
(dari
dosa).
atau
dia
(ingin)
mendapatkan
pengajaran
lalu
pengajaran
itu
memberi
manfa'at
kepadanya?
Adapun
orang
yang
merasa
dirinya
serba
cukup,
maka
kamu
melayaninya.
(Q.,.
'Abasa:
1-6)
Sejak
itulah,
kata
ats-Tsauri,
kalau
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
melihat
Ibnu
Ummi
Maktum
datang,
beliau
menggelar
baju
luarnya
seraya
bersabda,
"Selamat
datang
sahabat,
yang
kau
dicela
Tuhanku
karenannya!
Apa
kau
memerlukan
sesuatu?"
Renungan
Kami
ucapkan selamat kepadamu, sahabat Rasulullah, atas darmabaktimu
terhadap agama Islam dan kaum muslimin, dan dengan
ganjaransurga Tuhanmu yang kau raih.
Seorang
yang
buta
matanya,
tetapi
tajam
matahatinya.
Allah
Ta'ala
mengabadikan
namanya
dalam
Al-Qur'anul
Karim,
sekaligus
diproklamasikan
berdirinya
suatu
negara
orang-orang
saleh
yang
berbudi
luhur,
suatu
negara
pemeluk
Ilahi
di
muka
bumi.
Ia
sebagai
proklamasi
bahwa
nilai-nilai
kemanusiaan
dan
keimanan
harus
ditegakkan.
Hak
asasi
manusia
untuk
bersaing
secara
sehat
dan
untuk
mendapatkan
persamaan
dan
keadilan
dijamin
untuk
merealisasikan
firman-Nya,
"Sesungguhnya
orang-orang
yang
termulia
di
antara
kalian
di
sisi
Allah
ialah
yang
paling
bertaqwa."
Sejak
saat
itulah,
Rasulullah
Shallallahu
'alaihi
wasallam
menyambut
baik
kedatangan
para
sahabatnya
yang
terbilang
lemah
dan
miskin,
yang
ternyata
kemudian
suara
mereka
menggema
ke
seluruh
permukaan
bumi,
mengumandangkan
suara
perdamaian,
keadilan
persamaan,
dan
persaudaraan.
Mereka
pancarkan
cahaya
agama
Alah
Ta'ala
untuk
menghalau
kegelapan
dan
kesesatan;
mereka
berusaha
keras
menanggulangi
kebodohan
dan
kemiskinan;
dunia
menyambut
kedatangan
mereka
sebagai
pemimpin
dan
guru.
Segelintir
orang keluar dari tengah-tengah gurun pasir yang gersang , pergi
mengembara ke Timur, menerobos benteng Cina yang besar, mengembangkan
agama Allah Ta'ala sampai ke pedalaman negeri itu. Mereka
mengembangkan agama Allah ke India dan kepulauan-kepulauan di Lautan
Teduh, lalu berhasil menerobos ke Eropa, maka bertemulah Timur dan
Barat dalam pengakuan Islam. Pasukan Maslamah bin Abdul Malik
berhasil menaklukan Konstantinopel di sebelah Timur, sedangkan
pasukan Abdurrahman al-Ghafiqi berhasil membebaskan Iberia (Spanyol
dan Portugal) dari sebelah barat, sehingga para pelaut Islam
menguasai Laut Tengah sepenuhnya, memiliki dan mengawasi keamanan
pulau-pulau yang ada, sehingga pelayaran antar pulau-pulai itu,
Sicilia, Siprus, dan Koriska, tempat Napoleon diasingkan, berjalan
dengan lancar dan aman. Salah seorang penyair menggambarkan masa jaya
itu sebagai berikut.
"Dahulu,
mereka
hanyalah
penggembala
unta
sebelum
kebangkitannya.
Sesudah itu, mereka penuhi alam raya ini dengan peradaban.
Apabila menara masjid di tengah negeri Cina mengumandangkan azan, Anda akan mendengarkan di negeri Maghribi suara tahlil orang shalat.".
Sesudah itu, mereka penuhi alam raya ini dengan peradaban.
Apabila menara masjid di tengah negeri Cina mengumandangkan azan, Anda akan mendengarkan di negeri Maghribi suara tahlil orang shalat.".